Hal yang Sering Kita Lupakan

Manusia pasti mengalami kesedihan karena kehilangan sesuatu yang dekat dengannya atau yang dulu pernah menjadi miliknya. Kesedihan adalah tabiat manusia ketika tertimpa suatu keadaan yang tidak dia inginkan. Kita takkan bisa mendustai perasaan ketika kehilangan sesuatu yang amat kita cintai.

Sebagian pasti pernah merasakan, rasa khawatir dan takut selalu menggelayut tatkala takdir seolah berbalik arah. Takut tidak akan mengalami hal baik di kemudian hari. Takut tidak dapat melakukan yang kita inginkan dan takut tidak bisa mendapatkan sesuatu seperti yang sebelumnya kita temukan. Rasa cemas terhadap masa depan seringkali muncul dalam pikiran hingga muncullah syair-syair syaithan “Seandainya dulu aku begini… Seandainya aku begitu….”. Bahkan ada yang sampai hati berlebihan dalam menyalahkan dirinya sendiri, menyalahkan orang lain, bahkan menyalahkan takdir dan Tuhannya (wal’iyadzubillah)

“Tidaklah suatu musibah yang menimpa, baik pada bumi maupun pada diri kalian kecuali (telah tertulis) pada Kitab (Lauh Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah. (Kami menjelaskan yang demikian) supaya kalian tidak berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian dan supaya kalian tidak berbangga dengan apa yang Allah telah berikan kepada kalian. Sesungguhnya Allah tidak menyukai semua orang yang sombong dan membanggakan diri.”

Pernahkah kita berpikir ditengah kesedihan yang mendalam bahwa segala sesuatu itu hanya pinjaman? Pernahkah kita berpikir bahwa semua sebenarnya bukan milik kita? Pernahkah kita sadari bahwa yang dimiliki saat ini bukanlah semata-mata usaha kita sendiri? Rabb kita adalah Allah. Dia yang menciptakan, mengatur, dan yang memiliki alam semesta beserta isinya. Salahkah jika Sang Pemilik mengambil kembali apa yang Dia miliki? Pantaskah kita mencela Dia yang telah berbaik hati memberikan pinjaman-pinjaman itu kepada kita. Dialah yang mengasihi kita dengan memberikan nikmat-nikmat itu ketika kita tidak punya apa-apa untuk dibanggakan. Aduhai, betapa angkuhnya manusia-manusia pencela dihadapan Rabbnya Ar-Rahman, Ar-Rahiim.

Dan tentang ketakutan terhadap masa depan, bukankah hal tersebut belum tentu terjadi? Bukankah Allah berjanji memberikan nikmat dari arah yang tidak disangka-sangka kepada hambanya yang bertakwa? Bukankah Allah telah berkata bahwa Dia tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan makhluknya? Bahkan bisa jadi manusia membenci sesuatu padahal Allah tau itu baik baginya. Lalu apa yang selama ini sebenarnya kita takutkan? Kita sendiri pun tidak pernah tahu apakah itu akan terjadi atau tidak. Aren’t we afraid of nothing? Dan bukankah janji Allah itu nyata?

Ingatlah bahwa semua telah tertulis lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan semesta. Allah ciptakan qalam dan Allah perintahkan qalam untuk mencatat segala hal yang akan terjadi setelahnya. Dan lembar-lembar catatan itu telah kering dari goresan-goresan pena yang mencatatnya. Jika semua alam semesta dan seisinya bersatu untuk mencelakai kita, hal itu tidak akan terjadi seandainya Allah tidak berkehendak. Begitupun sebaliknya. Sedekat apapun kita dekatkan dua manusia yang Allah tidak kehendaki mereka sebagai jodohnya satu sama lain, mereka tidak akan bersatu untuk selama-lamanya. Karena hanya Dialah yang dapat menguasai hati-hati manusia. Dan bukankah janji Allah itu nyata?

Tinggalkan komentar